Independensi Hakim Dipuji, Terdakwa KDRT Diputus Percobaan

oleh -414 views
oleh
JAKARTA, HR – Akhirnya terdakwa Poltje di hukum percobaan oleh Ketua Majelis Hakim IBN Oka Diputra SH, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Jl. Gajah Mada, No.17, Jakarta Pusat, Rabu (02/11/16).
Dalam amar putusannya majelis mengatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan yakinkan bersalah melakukan penganiayaan sebagaimana dalam dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) melanggar Pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDR), “Setiap orang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun”.
Sesuai dengan keterangan saksi dan korban dan terdakwa yang layak dipercaya dipersidangan bahwa terdakwa tidak melakukan penganiayaan terhadap anak korban Pandhu, tetapi terdakwa sebagai orang tua hanya memberikan sekali cubitan di paha dan sekali tamparan kecil dipipi yang tidak menimbulkan penyakit. Dan untuk perlakukan itu tidak ada niat dari terdakwa untuk menyakiti tetapi hanya sebagai teguran terhadap anak karena sering terlambat pulang sekolah. Tetapi karena undang undang telah ada yang melarang melakukan tindakan kekerasan dalam rumah tangga secara pisik maupun psikis maka terdakwa harus dijatuhi hukuman sesuai dengan perbuatannya, ucap IBN Oka Diputra, SH dalam putusannya.
Pensehat Hukum Terdakwa Dominggus Maurits, SH, MH dari Lembaga Advokat DOMINIKA mengatakan bahwa putusan hakim sangat netral. “Independensi hakim sangat teruji dalam memeriksa perkara klien kita. Meskipun ada tekanan-tekanan, majelis tetap berpendirian dan berpatokan bahwa putusan sesuai dengan hasil yang terungkap dipersidangan,” ucap Dominggus, SH menanggapi putusan percobaan terhadap kliennya.
“Dari awal sudah menjadi pertanyaan kita motivasi pelapor. Demikian juga tindakan tindakan dari JPU yang diluar kewenangannya telah menjauhkan anak Pandhu dari orang tuanya. Ini semua jadi tanda tanya! Ada apa? Janganlah setiap perkara yang dilimpahkan kepersidangan seolah olah harus dihukum sesuai dengan permintaan laporan. Jaksa pun seharusnya bisa mejatuhkan tuntutan bebas jika melihat fakta persidangan tidak memungkinkan menghukum terdakwa, apakah salah? Dipersidangan kita menguji materil perkara bukan serta merta untuk menghukum,” tandas Dominggus.
Dominggus menilai ada perlakukan JPU yang dilakukan diluar kewenangannya. “Kita masih menunggu waktu. Saat ini kita sudah melaporkan perbuatan itu di Polda Metro Jaya. Kita sudah laporkan ke Polda,” ucapnya.
Sebelumnya JPU Theodora Marpaung dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara menjatuhkan tuntutan 1 tahun dan 6 bulan pidana penjara terhadap terdakwa Poltje karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 44 ayat (1) UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
Sebelumnya, Dominggus, SH dalam surat Pledoi yang dibacakan pada persidangan Kamis (13/10/16), pada intinya memohon kepada majelis hakim agar membebaskan kliennya dari segala tututan hukum, sebagaimana dalam dakwaan dan tuntutan JPU Pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDR), “Setiap orang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun”.
Karena sesuai dengan hasil yang terungkap dipersidangan dari keterangan saksi korban dan terdakwa dipersidangan bahwa terdakwa hanya melakukan cubitan dipaha kanan sekali dan menampar pipi sekali yang tidak mengakibatkan terhalangnya korban dalam melakukan aktifitasnya. Sehingga kesaksian tersebut telah mematahkan dakwaan JPU dalam tuntutan Pasal 44 ayat (1).
“Jikapun hakim menilai bahwa cubitan dan tamparan yang dilakukan terdakwa terhadap anaknya Pandhu maka kami selaku kuasa hukum terdakwa setuju jika terdakwa dijatuhi hukuman sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 44 ayat (4) UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT,” ungkap Dominggus.
Sesuai dengan hasil yang terungakap dipersidangan dari keterangan saksi saksi yang dihadirkan JPU dipersidangan tidaklah bersesuaian. Dimana saksi yang memberikan keterangan dipersidangan tidak melihat dan tidak mengalami sendiri peristiwa perbuatan terdakwa dan kesaksian tersebut sangat bertolak belakang dan tidak ada persesuaian keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain, sehingga tidak dapat di jadikan dasar untuk menghukum terdakwa, ujarnya.
Selain itu kata Dominggus, Terdakwa mengakui terus terang bahwa terdakwa melakukan pencubitan dipaha dan menampar di pipi, namun cubitan itu bukanlah beniat untuk menganiaya atau menyakiti tetapi hanya sebagai teguran dan memberikan peringatan agar anak korban Pandhu sebagai anak agar tidak mengulangi lagi telat pulang sekolah.
Sedangkan luka dibibir menurut keterangan korban dan terdakwa adalah sakit sariawan mulut, oleh karena itu keterangan saksi tidaklah menjadi bukti yang sah, tegas Dominmggus.
“JPU telah menciptakan suasana yang mencekam dan membuat seolah-olah terdakwa telah melakukan penganiayaan berat yang mengakibatkan anak Pandhu Hans Pranata mengalami siksaan berat yang mengakibatkan ketakutan dan trauma berat terhadap bapaknya sendiri. Padahal kenyataannya Pandhu sangat merindukan ayahtirinya. Tetapi JPU sengaja menjauhkan Pandhu dari keluarganya dengan melakukan penculikan terhadap Pandhu saat Pandhu menyaksikan pemotongan sapi kurban saat Maulit Nabi. Mana ada orang tua yang tidak pernah memarahi anaknya kalau anaknya nakal? Marah itu adalah bagaian dari bentuk kasih sayang orang tua kepada anak dalam ranggka pencegahan. Tetapi jaksa dalam hal ini mendramatisir perbuatan terdakwa karena kebetulan terdakwa seorang ayah tiri,” ucap Dominggus dalam Pledoinya. thomson g






(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tinggalkan Balasan