Hakim Sadis! Putusan Tidak Ada Meringankan

oleh -943 views
oleh
JAKARTA, HR – “Hakim Sadis!” Itulah yang terlontar dari ucapan pengunjung sidang kepada Ketua Majelis Hakim Pinta Uli Beru Tarigan, SH karena mengatakan “Tidak ditemukan hal hal yang meringankan terhadap diri terdakwa oleh karena itu harus dijatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya” pada Saat pembacaan putusan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atas nama dr Johannes Aritonang, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta, Selasa (16/8).
Ketua Majelis Hakim Pinta Uli Tarigan SH
dan Hakim Anggota
Amar putusan itu kontra produktif dengan pakta persidangan, seolah olah bahwa perbuatan terdakwa dalam kasus KDRT itu sesuatu perbuatan yang sangat sadis, yang tidak dapat dimaafkan.
“Sebelum Majelis menjatuhkan putusan maka majelis akan mempertimbangkan hal hal yang memberatkan dan hal hal yang meringankan. Bahwa hal hal yang memberatkan: terdakwa membantah keras tidak mengakui perbuatannya dan berbelit-belit dalam persidangan sehingga mempermempersulit jalannya persidangan. Hal hal yang meringankan: bahwa kami tidak menemukan hal hal yang meringankan kan pada dirimu. Oleh karena itu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dijatuhkan hukuman maximal 4 bulan pidana penjara. Oleh karena selama ini terdakwa ditahan maka seluruh masa penahanan dipotong kepada Putusan yang dijatuhkan kepadanya dan menyatakan terdakwa tetap ditahan,” kata Pinta Uli Beru Tarigan.
Atas putusan tersebut kuasa hukum terdakwa Advokat Revolusiner Elisa Manurung, SH langsung menyatakan sikap, banding. “Sesuai KUHAP dan KUHP kami akan menyampaikan hak kami: Bahwa benteng keadilan tidak berakhir di pengadilan Jakarta Utara ini, oleh karena itu kami akan banding dan bila perlu kasasi.” Ucapnya menegaskan pernyataannya.
PH Ombun Suryono Sidauruk SH 
dan Elisa Manurung SH
Elisa menilai bahwa hakimnya tidak netral alias tendensius. “Coba, pasal yang dibuktikan saja hanya pasal Abal Abal tetapi Hakim mengatakan tidak ada hal hal yang meringankan, kan ga sehat itu Hakim. Kasus pembunuhan muntilasi 13 saja masih ada hal hal yang meringankan. Dari disini ketahuan bahwa dari awal perkara ini terkondisikan. Hakimnya akan kita laporkan ke KY dan Ketua MA,” tegas sang Advokat Revolusioner.
Coba bayangkan! Tambah Elisa. Hasil visum Et Repertum saja menyebutkan: “Terdakwa seorang dokter dengan usia 27 tahun, bekerja di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, dan sedang mengambil program studi S2 Urologi di UI, terdakwa sopan di persidangan dan memberikan keterangan dengan jelas dan tegas dipersidangan. Apa yang memberatkan?” pungkas Elisa dengan heran.
“Semoga saja Hakim itu tidak pernah mendengar ‘Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah’”, tambah Elisa.
Selain intonasi kata kata Majelis yang meletup letup membacakan putusan, Majelis sama sekali tidak mempertimbangkan keterangan terdakwa yang mengatakan tidak pernah melakukan kekerasan terhadap istri nya Winda Olysia (Korban) dan hal itu juga diakui istrinya (korban) bahwa sebelum kejadian terdakwa tidak pernah disakiti terdakwa. Dan keterangan terdakwa itu didukung dua Saksi fakta yang melihat dan mendengar langsung kejadian, bahwa saksi korban sakit hati kepada mertuanya hanya masalah omongan sipele, yang bersumber dari amplop.
Dan karena ocehan korban kurang mendapat respon dari terdakwa dan malah dinyruh tidur saksi korban teriak teriak “kalau begini lebih baik cerai kan aku saja, orang tuamu selalu menghina keluarga saya,” itulah sumber malapetaka. Winda seperti kata anak muda sekarang ‘baperan’ (bawa perasaan).
Selain keterangan dua saksi fakta yang mendengar teriakan korban dan melihat korban lari dari rumah bahwa korban tidak mengalami luka atau memar, tidak dipertimbangkan Majelis juga keterangan dua saksi A-Decarge dan dua saksi ahli, yang diajukan Penasehat Hukum terdakwa.
Sementara kesaksian dua Saksi testimony dan satu saksi ahli yang tidak punya keahlian diterima seluruhnya, oleh sang hakim.
Pasal 183 KUHAP, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Jaksa Penuntut Umum “JPU” Toto Ardiyanto, SH dan Lufti, SH dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara mendakwa dan menjatuhkan tuntutan 4 bulan pidana penjara terhadap terdakwa Dr. Johannes Aritonang karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 44 ayat (4) UU NO 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekeradan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Johannes Aritonang dan Winda Olysia Panjaitan masih penganten baru, dan masih dalam tahapan proses menikmati bulan madu dari pernikahan mereka yang baru menjalani 3 bulan 26 hari.
Ombun Suryono Sidauruk, SH selaku Penasehat Hukum terdakwa mengatakan bahwa penilaian Majelis terhadap terdakwa sudah terkondisikan dan itu dapat dilihat dari keputusan majelis yang tidak mengabulkan permohonan pengalihan penahanan padahal JPU dalam tuntutannya mengatakan terdakwa terbukti melanggar Pasal 44 ayat (4) UURI No 23 Tahun 2004 tentang KDRT, yang ancaman hukumannya adalah maksimal 4 (empat) bulan.
Winda Olysia Panjaitan membuat laporan ke Polsek Kelapa Gading, Jakarta Utara dengan tuduhan suaminya dr. Johanes Aritonang bersama mertuanya melakukan kekerasan fisik kepadanya di Rumah tinggalnya di Jl. Hijau, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada tangga 7 Oktober 2015, pkl. 23.WIB.
Berdasakan Surat tanggal 8 Oktober 2015 yang diajukan oleh Ka SPKT B Polsek Kelapa Gading kepada Direktur RS Gading Pluit Nomor: 70/VER/2015/PMJ/Res JU/S GD Perihal Visum Et Repertum dalam perkara Penganiayaan Ringan Pasal 352 KUHP.
Ombun Suryono Sidauruk, SH, sebagai kuasa hukum terdakwa dr. Johannes Aritonang dalam surat pledoinya mengatakan bahwa polisi dan Jaksa telah menzalimi kliennya dengan melakukan rekayasa hukum untuk melakukan penahanan, oleh karena itu mereka memohon kepada pimpinan sidang yang di Ketua Majelis Hakim Pinta Uli beru Tarigan, SH untuk membebaskan dan menyatakan Terdakwa dr Johannes Aritonang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KDRT sebagaimana dalam dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dan
memulihkan hak Terdakwa dalam segala kemampuan, kedudukan serta harkat martabatnya semula, serta membebankan biaya perkara kepada Negara, ucapnya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Kamis (11/08/16).
Dan ternyata bahwa Rekaya itu benar benar tersitimatis dan masip sejak dari pembuatan laporan polisi, hasil visum et-revertum, pasal yang tadinya pasal 352 Berubah menjadi pasal 44 ayat (1) jo Pasal 44 ayat (4) UU No 23 Tahun 2004 tentang KDRT.
Meskipun hasil visum et-revertum mengatakan, “cidera tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencarian”, tetapi kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan tetap melakukan penahanan. Pungkasnya.
“Jadi pengadilan sudah memenuhi target, pesanan, order dari pihak pihak tertentu yang menginginkan agar Terdakwa ditahan dan agar studinya gagal. Itu sudah betul-betul dikabulkan Majelis hakim,” ucap Ombun Suryono Sidauruk, SH. thomson g


(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tinggalkan Balasan