Gubernur DKI, Pendidikan ini Mau Dibawa Kemana ?

oleh -493 views
oleh
JAKARTA, HR – Implikasi yang ada di jajaran pendidikan yang selalu berubah-ubah peraturan membuat pelaksana bingung untuk menjalankan peraturan yang diterapkan oleh Gubernur DKI Jakarta, contohnya Perbedaan Pergub.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama
Apabila kita cermati cecara mendalam banyak peraturan yang diterapkan Gubernur tidak masuk akal dalam pendidikan, semenjak Basuki Cahaya Purnama menjabat sebagai Gubernur di DKI Jakarta.
Mungkin penerapan kebijakan itu disamakan dengan instansi yang lain. Padahal instansi pendidikan lain dari instansi diluar pendidikan. Sebenarnya peraturan yang diterapkan di pendidikan itu penting dikaji ulang.
Memasuki tahun ajaran 2015/2016 sangat riskan peraturan itu yang dijalankan oleh Kepsek mulai tingkat SD/MI, SMP/MTS, SMA, MA dan SMK Negeri dalam menjalankan kebijakan yang dibuat oleh Gubernur. Pendidikan yang ada di Indonesia ini harus mengacu ke pada 8 standarisasi. Sebenarnya Gubernur harus mensingkronisasi kepada 8 standarisasi.
Salah satunya sandar pembiayaan, standar pembiayaan bersumber dari anggaran APBN dan APBD khususnya untuk negeri. Yang dimaksud angaran APBN bersumber dari Kementerian Pendidikan, sedangkan APBD bersumber dari Pemda, kita maksud anggaran APBD khusus untuk Pemrov DKI Jakarta yang identik dengan dana BOP untuk pendidikan.
Padahal UU otonomi pendidikan yang digodok DPR RI tahun 1999 yaitu mengenai sarana prasarana tanggung jawab Pemda masing-masing. Akan tetapi, anggaran yang dikelola Kepsek pihak Pemda DKI Jakarta tidak konsekuen menyalurkan anggaran per triwulan.
Anggaran BOP tahun 2015 mulai bulan Juli sampai pertengahan bulan Nopember tidak turun, yang turun di minggu keempat. Disinilah kelemahan Pemrov DKI Jakarta untuk menjalankan kebijakan yang selalu berubah-ubah.
Pertama kebijakan Pemda menyalurkan anggaran Rp 25 juta kebijakan itu dimulai di bulan Januari sampai bulan Oktober minggu pertama muncullah surat edaran dari Kadis Pendidikan minggu kedua bulan Oktober 2015 yang lalu menjadi Rp 2,5 juta/hari anggaran yang bisa dipergunakan pengguna anggaran/kepsek tidak terkecuali mulai tingkat SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA dan SMK Negeri.
Bukan hanya itu, kebijakan dari Gubernur DKI Jakarta semua pengguna anggaran harus memakai e-budgeting, karena mengingat anggaran turun minggu keempat dan instruksi dari Gubernur, Kepsek harus mencari rekanan angaran tersebut bisa terserap, mengingat anggaran itu turun akhir bulan Nopember.
Karena penutupan buku biasanya tanggal 20 Desember, akan tetapi di tahun 2015 kemarin Gubernur memberikan waktu sampai tanggal 30 Desember 2015. Sebenarnya Gubernur DKI Jakarta mempersempit ruang korupsi di Jakarta, sedangkan kebijakan memakai e-budgeting, gubernur tidak tahu efek yang diakibatkan untuk mencari rekanan agar anggaran bisa terserap.
Padahal kebijakan tersebut membuka seluas luasnya ruang korupsi apabila memakai pihak rekanan. Disinilah pertanyaan publik kepada Gubernur DKI agar pemakaian e-budgeting penting direvisi dan kebijakan itu harus matang dipikirkan agar publik jangan bingung melihat kebijakan yang dibuat oleh Gubernur.
Sebenarnya masih banyak kebijakan Gubernur yang tidak masuk akal yang diterapkannya di jajaran pendidikan di Jakarta, jadi membuat Kepsek tidak ada semangat untuk bekerja, karena kebijakan itu selalu tidak masuk akal. hoklen m

Tinggalkan Balasan