DENPASAR, HR – Gelombang penolakan terhadap Undang-undang Cipta Kerja yang dibentuk melalui sitem Omnibus Law oleh DPR RI pada 5 Oktober 2020 terus bermunculan di berbagai daerah. Penolakan tersebut menuai berbagai respon dari kalangan masyarakat utamanya disebabkan merebaknya kerusuhan di berbagai daerah seperti Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Timur, termasuk Bali (8/10/2020).
Meski tidak berlangsung berkepanjangan, aksi unjuk rasa di Provinsi Bali diwarnai perpecahan massa aksi. Berdasarkan surat pemberitahuan yang disampaikan kepada Polresta Denpasar, aksi yang mengatas namakan Bali Tidak Diam ini akan berpusat di lingkungan Universitas Udayana Kampus Sudirman, Denpasar.
Namun sekitar 30 menit setelah jam kumpul, ratusan massa aksi mulai bergerak menuju gedung DPRD Provinsi Bali. Hal ini menyebabkan terdapat dua titik massa aksi dengan agenda berbeda.
Memasuki siang hari, terdapat lemparan gas air mata pada titik massa aksi depan Gedung DPRD Provinsi Bali disebabkan massa aksi bergerak menujuk gerbang yang sempat dibuka untuk mobilitas masuknya petugas keamanan. Tembakan berhenti begitu massa aksi mundur dari gerbang tersebut, namun hal ini menyebabkan kericuhan massa.
Meski demikian, menjelang sore tiga orang yang mengaku sebagai perwakilan mahasiswa melaksanakan diskusi dengan aparat keamanan dan dipersilakan untuk masuk ke gedung DPRD Provinsi Bali untuk mengecek keberadaan anggota DPRD.
Pasca masuk, ketiga mahasiswa tersebut menyatakan bahwa tidak terdapat anggota DPRD di dalam gedung, namun mereka dipersilakan untuk mengajukan permohonan audiensi terkait penyampaian aspirasi penolakan UU Cipta Kerja.
Menanggapi hal ini, Kapolresta Denpasar, Kombespol Jansen Avitus Panjaitan telah memberikan keterangan bahwa perpecahan massa aksi terindikasi disebabkan adanya provokator dan penyusup. Pihaknya berkomitmen untuk mengusut provokator tersebut yang mengakibatkan aksi menjadi tidak kondusif.
“Mereka sendiri mengakui ada penyusup, dan mereka mengakui bahwa kedatangan ke kantor DPRD tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sehingga tidak ada anggota dewan yang menerima, apalagi sebagian anggota dewan WFH karena pandemi covid 19,” kata Jansen saat diwawancara di halaman kantor DPRD Bali, Kamis (8/10/2020).
Sementara itu, orasi digaungkan oleh kelompok mahasiswa dan buruh di Universitas Udayana Kampus Sudirman. Tuntutan dalam orasi jelas untuk melakukan penolakan terhadap UU Cipta Kerja yang dipandang cacat sejak dari proses pembahasan hingga pengesahannya. Aksi yang awalnya berjalan kondusif kemudian diwarnai dengan pembakaran ban di bagian depan gedung kampus.
Selanjutnya, sekitar pukul 18.00 Wita, aparat keamanan mulai menghimbau massa aksi untuk membubarkan diri, namun hal ini tidak segera dilaksanakan. Memasuki malam hari, aparat keamanan mulai menembakkan gas air mata untuk memaksa massa aksi membubarkan diri. Hal ini mengakibatkan pergerakan massa aksi berlindung di dalam gedung kampus hingga sekitar pukul 21.00 Wita massa aksi berangsung membubarkan diri. Dari situasi tersebut, terdapat massa aksi yang mengalami luka ringan.
“Kurang lebih ada 40 korban terkena gas air mata, belasan mendapatkan luka ringan dan 5 orang pingsan dan harus mendapatkan tindakan medis,” jelas Juru Bicara Bali Tidak Diam, Abror Tanjila dalam konferensi pers yang digelar di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Jalan Plawa, Denpasar, Jumat (9/10/2020) sore.
Meski tidak memberikan keterangan terkait dengan kemungkinan adanya penyusup dalam aksi, Presiden Mahasiswa BEM PM Universitas Udayana, Dewa Gede Satya membenarkan adanya miskoordinasi sehingga mengakibatkan perpecahan massa aksi.
“Mengenai penjelasan massa aksi di Renon, perlu ditegaskan bahwa surat pemberitahuan aksi menyatakan titik aksi kami memang berlokasi di Jalan Jenderal Sudirman, jadi memang hasil teknis lapangan sebelum digelarnya aksi, memang tidak pernah ada kesepakatan untuk melakukan aksi di Renon,” terang Satya.
Hal tersebut disebutkan bukan merupakan indikasi keberadaan penyusup ataupun provokator, namun inisiatif massa aksi, “Memang massa yang dengan inisiatif sendiri, tanpa arahan komando, mereka berjalan ke gedung DPRD, karena di sana tidak ada komando, sehingga terjadi tindakan di luar rencana kami,” tutup Satya. gina