Diperiksa Polisi, Big Bos Majalah Indonesia Tatler Sebagai Saksi

oleh -2.3K views
oleh
Mapolda Metro Jaya

JAKARTA, HR – Subdit Cyber Krimsus Polda Metro Jaya, Senin (19/2), kembali memanggil Millie Stephanie sebagai saksi atas laporan Nomor TBL/5030/X/2017/PMJ/Dit.Reskrimsus. Saksi merupakan pemilik saham PT Mobiliari Stephindo, badan usaha yang menerbitkan Majalah Indonesia Tatler. Big Boss PT Mobiliari Stephindo itu diperiksa terkait kasus dugaan tindak pidana penggelapan asal-usul orang dan tindak pidana penyebaran berita bohong yang diadukan Ello terhadap Redaksi Majalah Indonesia Tatler.

Dr Ir Albert Kuhon MS SH

Ello Hardiyanto (63), warga Jalan Guntur Jakarta Selatan, mengadukan kasus itu pada Oktober 2017 sebagaimana laporan Nomor TBL/5030/X/2017/PMJ/Dit.Reskrimsus, didampingi oleh advokat Dr Ir Albert Kuhon MS SH bersama Iskandar Siahaan SH dan Alfon Sitepu SH.

Majalah Indonesia Tatler merupakan media berbahasa Inggris yang dipasarkan di Indonesia, berdasarkan lisensi dari penerbitan di luar negeri. Sampai berita ini diturunkan, belum diperoleh konfirmasi dari Millie Stephanie. Demikian juga Kasubdit Cyber Krimsus Polda Metro Jaya AKBP Roberto Pasaribu, yang ditanyai seputar perkembangan kasus ini belum menjawab via selularnya.

Menurut Kuhon, ini adalah pemeriksaan kesekian kalinya dilakukan penyidik Cyber Krimsus Polda Metro Jaya atas perkara kliennya. Sebelum Millie Stephanie, pekan lalu, penyidik Polda Metro Jaya juga memeriksa Maina Harjani, Redaktur Pelaksana (Managing Editor) Majalah Indonesia Tatler. Maina ditanyai mengenai peranannya dalam kasus penyebaran berita bohong oleh majalah yang dipimpinnya.

Para petinggi majalah Indonesia Tatler itu ditanyai masalah penyebaran berita bohong dan perizinan PT Mobiliari Stephindo. Perusahaan yang tidak memiliki izin penerbitan pers itu, sejak tahun 2000 menerbitkan Majalah Indonesia Tatler. PT Mobiliari Stephindo juga mendapat lisensi penerbitan Majalah Forbes Indonesia dan sejumlah majalah mewah lainnya.

‘Orangtua’ Mempelai
Ello dalam pemeriksaan polisi menjelaskan bahwa Majalah Indonesia Tatler edisi Maret 2017 baik versi cetak maupun versi online, mempublikasikan foto resepsi perkawinan Adams Selamat Adi Kuasa Hardiyanto dengan Clarissa Putri Suseno. Resepsi pernikahan berlangsung 15 Januari 2017 di Hotel Mulia, Jakarta Pusat. Majalah Indonesia Tatler edisi Maret 2017 versi cetak maupun online memberitakan resepsi itu dan memajang sejumlah foto.

Foto di majalah Indonesia Tatler edisi Maret 2017 disertai teks dalam bahasa Inggris yang intinya berbunyi The bride and groom along with their parents, yang dalam bahasa Indonesia berarti “kedua mempelai bersama orangtuanya masing-masing”. Foto itu menggambarkan enam figur, Adams dan Clarissa Putri Suseno atau Sasa (mempelai) berdiri di tengah, figur Yansen Dicky Suseno dan Inge Rubiati Wardhana (orangtua Clarissa) paling kiri, dan figur yang bertindak seolah-olah sebagai orangtua Adams berdiri pada posisi paling kanan.

Dalam pemeriksaan, Ello menjelaskan, dia maupun Gina (istrinya) selaku orangtua kandung Adams, tidak hadir dalam resepsi. Sehingga mustahil orangtua Adams ada dalam foto itu. Berita dan foto mempelai Adams bersama ‘orangtuanya’ yang dimuat oleh Majalah Indonesia Tatler edisi Maret 2017 itu membuat banyak pihak bertanya-tanya kepada Ello dan Gina. Awal Mei 2017, Ello menghubungi pihak Majalah Indonesia Tatler. Ia menyampaikan koreksi dan minta hak jawab sebagaimana dijamin UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Redaktur Pelaksana Majalah Indonesia Tatler, Maina A. Harjani, menjawab email Ello awal Mei 2017. Maina mengakui kesalahan redaksi Majalah Indonesia Tatler dan menjanjikan koreksi (ralat) atas berita foto itu dalam edisi berikutnya. Sekitar tiga minggu setelah imel dari Maina, Adams yang sebenarnya anak kandung Ello dan Gina Kalalo, mengumumkan pemutusan hubungan keluarga dengan orangtuanya melalui iklan surat kabar akhir Mei 2017.

Ingkar Janji
Ternyata Maina ingkar janji dan Redaksi Majalah Indonesia Tatler tidak memenuhi janji publikasi ralat itu. Akhir Juli 2017, Ello mengadu kepada Dewan Pers. Dalam Penilaian Pernyataan dan Rekomendasi (PPR) No 26/PPR-DP/X/2017 tertanggal 9 Oktober 2017, Dewan Pers menyatakan Majalah Indonesia Tatler tidak menjalankan fungsi pers sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 6 UU No 40/1999 tentang Pers. PPR Dewan Pers juga menegaskan bahwa perusahaan yang menerbitkan Indonesia Tatler bukan Perusahaan Pers.

PPR Dewan Pers itu menegaskan Redaksi Majalah Indonesia Tatler melanggar Kode Etik Jurnalistik karena tidak segera melayani hak jawab yang diminta Ello Hardiyanto. Dewan Pers juga mengatakan Redaksi Majalah Indonesia Tatler melanggar pasal 5 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, karena tidak segera melayani permintaan hak jawab Ello Hardiyanto.

Sampai awal Februari 2018, pihak Majalah Indonesia Tatler masih menjual foto yang keliru itu melalui aplikasi berbayar Magzter, Wayang, Scoop, Press Reader dan lain-lain. Baru pada pertengahan Februari 2018, penyebaran foto yang keliru itu dihentikan.

“Padahal Maina sejak awal Mei 2017 sudah mengakui kesalahan mereka dan berjanji meralat. Dan Dewan Pers awal Oktober 2017 menyatakan majalah itu melanggar kode etik jurnalistik,” kata advokat Albert Kuhon, Senin (19/2/2018) petang.

Bukan Perusahaan Pers
PPR Dewan Pers mengungkapkan, perusahaan yang menerbitkan Majalah Indonesia Tatler melanggar Pasal 12 UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, karena tidak mencantumkan nama Pemimpin Redaksi dan Penanggungjawab majalah itu. Selain itu, PT Mobiliari Stephindo yang menerbitkan Majalah Indonesia Tatler bukanlah Perusahaan Pers.

Pada pemeriksaan di Dewan Pers terungkap bahwa dalam akta PT Mobiliari Stephindo perusahaan yang bergerak dalam bidang perindustrian, perdagangan, travel dan lain-lain. Sama sekali bukan perusahaan penerbitan pers.

“Tapi perusahaan itu selama belasan tahun bertindak seolah-olah perusahaan penerbitan media. Mereka juga menerbitkan Majalah Forbes,” kata Albert Kuhon.

Kuhon menduga Redaksi Majalah Indonesia Tatler bersekongkol dengan pihak-pihak yang ada dalam foto itu, serta narasumber maupun pihak-pihak yang menyuruh peliputan.

“Mereka secara bersama-sama menggelapkan asal-usul keturunan anak kandung Ello,” katanya.

Menurut Albert Kuhon, tindakan Redaksi Majalah Indonesia Tatler tersebut dapat digolongkan sebagai pidana secara bersama-sama atau penyertaan (delneming) dalam penyebaran berita bohong.

“Juga merupakan penyebaran berita bohong dan menyesatkan melalui transaksi elektronik, transmisi atau pendistribusian informasi dan dokumen yang menyebabkan pencemaran nama baik,” kata advokat itu.

Rp 12 Miliar
Kuhon menjelaskan pula, ancaman pidana pencemaran nama baik dalam UU ITE adalah penjara 12 tahun dan denda Rp 12 miliar. Hal itu diatur dalam pasal 27 sampai pasal 34, pasal 36 dan pasal 51 ayat (2) UU ITE.

“Secara khusus pasal 51 ayat (2) UU ITE menegaskan orang yang terbukti melanggar pasal 36 diancam pidana penjara 12 tahun dan denda Rp12 miliar,” ujar Kuhon.

Kuhon menguraikan, pengelola Majalah Indonesia Tatler versi online dapat dijerat pasal 28 Ayat (1) juncto Pasal 45A Ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang No. 19 tahun 2016. Ancaman penyebaran berita bohong dan menyesatkan dalam transaksi elektronik adalah pidana penjara enam tahun dan/atau denda Rp 1 miliar. Sedang/Pasal 27 Ayat (3) jo. Pasal 45 Ayat (3) UU ITE menyebutkan orang yang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik, dapatdipidana empat tahun dan denda Rp 750 juta.

Selain itu, Redaksi Majalah Indonesia Tatler dapat dijerat Pasal 5 ayat (2) Undang-undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, karena tidak melayani Hak Jawab; serta ayat (3) karena tidak melayani Hak Koreksi. Pasal 18 Ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan Perusahaan Pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat (2) diancam pidana denda Rp 500 juta rupiah. kornel

Tinggalkan Balasan