Di Satker PJN Metropolitan 2 Jakarta, PT BA Lecehkan Instruksi Menteri PUPR?

oleh -1.4K views

BOGOR, HR – Sebagai tindaklanjut pemberitaan Surat Kabar Harapan Rakyat (HR) & www.haparanrakyat.online.com sebelumnya, dan pihak Kasatker Pelaksanaan Jalan Nasional (PJN) Metropolitan II Jakarta, BBPJN VI (DKI, Jabar, Banten) Ditjen Bina Marga, Ariyanto Sihombing maupun PPK dan panitia lelang belum menjawab konfrimasi HR sampai saat ini.

Padahal, surat konfirmasi HR, telah terkirim sejak tanggal 10 Desember 2018 dengan nomor: 079 /HR/XII/2018 perihal mempertanyakan paket Pembangunan Flyover Martadinata (Bogor) yang dimenangkan dan dikerjakan oleh PT Brantas Abipraya (Persero).

Diketahui, paket Pembangunan Flyover Martadinata (Bogor) yang diumumkan proses lelang sampai pemenangnya PT Brantas Abipraya (PT BA) dengan penawaran biaya Rp 97.417.732.000,00 atau setara 97, 82 % dari HPS Rp 99.585.293.000 yang mana hal ini termasuk penawaran tinggi dan diduga ada unsur kesengajaan diarahkan sebagai rekanan tertentu?

Pemenang PT BA yang merupakan plat merah atau BUMN itu, selayaknya tidak lagi mengerjakan paket dibawa nilai Rp 100 miliar. Hal itu disampaikan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)), Basuki Hadimuljono dengan menginstruksikan atau imbauan agar dilarang mengerjakan paket proyek konstruksi dibawah Rp 100 miliar bagi kontraktor BUMN.

“Instruksi Menteri PUPR itu, berlaku untuk anggaran 2018, yang sifatnya adalah agar pihak swasta dapat berpartisipasi lebih besar dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur di Tanah Air,“ tegas Basuki kepada pers pada pertengahan Juli 2018 lalu yang juga dimuat berbagai mas media.

Basuki menegaskan, hampir 70 persen proyek jalan di Kementerian PUPR selama ini banyak dikerjakan kontraktor swasta. Sementara, proyek pembangunan yang nilainya di bawah Rp100 miliar sudah tak digarap lagi oleh perusahaan BUMN/BUMD.

“Sekarang BUMN enggak ada yang di bawah Rp100 miliar. Apalagi di Ditjen Bina Marga itu sudah dominan swasta,” ujar Menteri PUPR.

Pemenang PT BA yang saat ini masih mengerjakan paket Pembangunan Flyover Martadinata (Bogor) yang merupakan ‘tahun jamak” dengan nilai Rp 97.417.732.000,00 adalah hanya satu-satunya memasukkan harga/biaya atau “tunggul”.

Sedangkan, peserta lainnya digugurkan yang termasuk beberapa kontraktor swasta dengan alasan yang sama dievaluasi yakni: “Sesuai dengan Dokumen Pengadaan Bab II Instruksi Kepada Peserta (IKP) Huruf F Pasal 29 tentang Penetapan Pemenang dan Surat Pernyataan dari Pimpinan Cabang”.

Sesuai data di lpjk.net, badan usaha SBU –S1004 (Jasa Pelaksana Konstruksi Jembatan, Jalan Layang) oleh PT BA adalah Kualifikasi B2, hal itu sesuai mengacu Peraturan Menteri PUPR RI No. 19/PRT/M/2014 tentang perubahaan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 08/PRT/M/2011 tentang Pembagian Subklasifikasi dan Subkualifikasi Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultansi (lampiran III) yang berbunyi: untuk pekerjaan kualifikasi B2 adalah mengerjakan paket diatas Rp 250 M hingga tak terbatas, lalu kenapa PT BA bisa menang dibawa paket Rp 100 miliar?, apalagi sudah jelas instruksi Menteri PUPR.

Papan Proyek Setengah Hati
Sesuai pantauan HR di lokasi proyek Jalan Martadinata, Bogor, Jawa Barat dengan paket pembangunan Flayover yang baru dikerjakan pada awal bulan Nopember 2018 itu, oleh PT BA dengan Konsultan Pengawas/Supervisi PT Perentjana Djaya JO PT Displan Consult PT Binatama Wirawredha, dan itu sesuai tertulis di papan plang nama proyek tersebut.

Kontraktor Pelaksana oleh PT BA dan Konsultan Pengawas yang tercatat di papan proyek itu antara lain: Jangka waktu pelaksanaan: 420 Hari Kalender, T.A 2018 dan 2019, Sumber Dana: ABPN, No. Kontrak: HK.02.03/Bb6.PJNMII/PPK-2/X/2018.03, tanggal 25 Oktober 2018 dan Konsultan Pengawas: PT Perentjana Djaya JO PT Binatama Wirawredha PT Displan Consult.

Akan tetapi, nilai anggaran yang dikerjakan kontraktor dan konsultan pengawas tidak mencantumkan nilai atau biayanya, sehingga hal ini justru termasuk melakukan membohongi publik.

Padahal diketahui, pekerjaan fisik dan biaya konsultan adalah bersumber APBN 2018-2019 itu, yakni PT BA mengerjakan senilai Rp Rp 99.585.293.000 dan biaya konsultan senilai Rp 3.029.840.000.
Anehnya, dalam proses lelang konsultan PT Perentjaya Djaya adalah termasuk penawaran tertinggi nilainya bila dibandingkan peserta lainnya, misalnya PT Aria Jasa Reksatama Rp 2.978.723.000,00 dan PT Wesitan Konsultasi Pembangunan Rp 2.872.870.000.

Pemuatan plang papan nama proyek tersebut dinilai tidak lengkap. Artinya, setengah hati atau asal ada yang dilakukan oleh kontraktor-konsultan dengan bekerjasama Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Padahal, sesuai Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), masyarakat berhak mengetahui dan mengawasi setiap kegiatan pembangunan yang dibiayai lewat anggaran negara (APBN dan APBD).

Di dalam papan nama proyek, setidaknya memuat tentang nama proyek, nomor kontrak proyek, nilai anggaran, sumber anggaran, volume pekerjaan, masa pelaksanaan, nama kontraktor pelaksana dan nama konsultan pengawas.

Selain UU KIP juga dipertegas tentang transparansi pelaksanaan program pemerintah seperti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12/PRT/M/2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan.

Ketua Umum Lapan (Lembaga Pemantau Aparat Negara), Gintar Hasugian kepada HR menjelaskan, kegiatan pekerjaan proyek, tanpa melengkapi unsur semua dipapan nama proyek di lokasi pekerjaan adalah pelanggaran.

Papan nama proyek wajib terpasang dan isinya pun harus lengkap, bukan setengah-setengah. “Itu sesuai aturan dengan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah, keberadaan papan proyek wajib dilaksanakan pelaksana kegiatan, meski kadang dipandang sebelah mata,“ ujar Gintar kepada HR (17/01/19) di Jakarta.

Kewajiban memasang plang papan nama tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.70/2012 tentang Perubahan Kedua atas Perpres nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Regulasi ini mengatur setiap pekerjaan bangunan fisik yang dibiayai negara wajib memasang papan nama proyek.

“Sesuai aturan, jelas isi papan nama proyek, diantaranya memuat jenis kegiatan, lokasi proyek, nomor kontrak, waktu pelaksanaan proyek, nilai kontrak, sumber anggaran, jangka waktu dan lama pengerjaan proyek,“ ujar Gintar.

Persoalannya, kata Gintar, seperti ini dampak dari tidak transparansi. Kalau terpasang papan proyek dan disebutkan sumber dananya, nilai dananya tidak akan menimbulkan prasangka, ini dan itu. “Jadi sekecil apapun, atau tidak lengkap isi papan proyek itu bisa-bisa dikategorikan rawan korupsi,“ ujarnya. tim

Tinggalkan Balasan