JAKARTA, HR – Paket Pembangunan Flyover Martadinata (Bogor) dengan HPS Rp 99.585.293.000 untuk pekerjaan tahun jamak 2018, dimenangkan PT Brantas Abipraya (Persero) senilai Rp 97.417.732.000 atau setara 97,82 %, diduga ada unsur kesengajaan diarahkan sebagai pemenang, walaupun mengesampingkan instruksi Menteri PUPR.
Dimenangkannya PT Brantas Abipraya (BA) telah mengabaikan instruksi Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono, yakni melarang BUMN mengerjakan paket proyek konstruksi dibawah Rp 100 miliar.
Alasan imbauan atau instruksi Menteri PUPR itu berlaku untuk anggaran 2018, yang sifatnya adalah agar pihak swasta dapat berpartisipasi lebih besar dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur di Tanah Air.
Menteri PUPR mengingatkan karena dalam Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang telah beberapa kali mengalami perubahan.
“Jadi, sebenarnya sudah berjalan,” ujar Basuki kepada pers pada pertengahan Juli 2018 lalu.
Basuki menegaskan, hampir 70 persen proyek jalan di Kementerian PUPR selama ini banyak dikerjakan kontraktor swasta. Sementara proyek pembangunan yang nilainya di bawah Rp100 miliar sudah tak digarap lagi oleh perusahaan BUMN/BUMD.
“Sekarang BUMN enggak ada yang di bawah Rp100 miliar. Apalagi di Ditjen Bina Marga itu sudah dominan swasta,” ujar Menteri PUPR.
Akan tetapi, instruksi atau imbauan Menteri PUPR tidak diindahkan bahkan terkesan dilecehkan oleh Satker Pelaksanaan Jalan Nasional (PJN) Metropolitan II Jakarta, BBPJN VI-Ditjen Bina Marga dengan menetapkan PT Brantas Abipraya (PT BA) yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada Paket Pembangunan Flyover Martadinata (Bogor) dibawa nilai Rp 100 miliar.
Dan sesuai pengumuman di aplikasi SPSE Kementerian PUPR, pemenang PT BA merupakan satu-satunya peserta yang memasukkan harga/biaya. Sedangkan peserta lainnya digugurkan, termasuk beberapa kontraktor swasta, dengan alasan yang sama saat evaluasi, yakni: “Sesuai dengan Dokumen Pengadaan Bab II Instruksi Kepada Peserta (IKP) Huruf F Pasal 29 tentang Penetapan Pemenang dan Surat Pernyataan dari Pimpinan Cabang”.
Dan bahkan sesuai data di lpjknet, badan usaha SBU –S1004 (Jasa Pelaksana Konstruksi Jembatan, Jalan Layang) milik PT BA adalah Kualifikasi B2. Bila mengacu Peraturan Menteri PUPR RI No. 19/PRT/M/2014 tentang perubahaan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 08/PRT/M/2011 tentang Pembagian Subklasifikasi dan Subkualifikasi Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultansi (lampiran III), berbunyi: untuk pekerjaan kualifikasi B2 adalah mengerjakan paket diatas Rp 250 M hingga tak terbatas. Lalu, mengapa PT BA bisa menang di bawah Rp 100 miliar?
Surat Kabar Harapan Rakyat telah mengajukan konfirmasi dan klarifikasi yang diajukan kepada Satker PJN Metropolitan II Jakarta BBPJN VI, Ariyanto Sihombing, dengan surat HR Nomor: 079/HR/XII/2018 tanggal 10 Desember 2018, namun sampai saat ini tidak ada tanggapan hingga berita naik cetak.
Setengah Hati
Sesuai pantauan HR di lokasi proyek Jalan Martadinata, Bogor, Jawa Barat dengan paket Pembangunan Flayover yang baru dikerjakan pada awal Nopember 2018, oleh PT BA dengan Konsultan Pengawas/Supervisi PT Perentjana Djaya JO PT Displan Consult PT Binatama Wirawredha, dan itu sesuai tertulis di papan plang nama proyek tersebut.
Kontraktor Pelaksana oleh PT BA dan Konsultan Pengawas yang tercatat di papan proyek itu antara lain: Jangka waktu pelaksanaan: 420 Hari Kalender, T.A 2018 dan 2019, Sumber Dana: ABPN, No. Kontrak : HK.02.03/Bb6.PJNMII/PPK-2/X/2018.03, tanggal 25 Oktober 2018 dan Konsultan Pengawas: PT Perentjana Djaya JO PT Binatama Wirawredha PT Displan Consult.
Akan tetapi, nilai anggaran yang dikerjakan kontraktor dan konsultan pengawas tidak mencantumkan nilai atau biayanya, sehingga hal ini justru termasuk melakukan pembohongan public.
Padahal diketahui, pekerjaan fisik dan biaya konsultan adalah bersumber APBN 2018-2019, yakni PT BA mengerjakan senilai Rp 99.585.293.000 dan biaya konsultan senilai Rp 3.029.840.000.
Dan anehnya, dalam proses lelang konsultan PT Perentjaya Djaya adalah termasuk penawaran tertinggi nilainya bila dibandingkan peserta lainnya, misalnya PT Aria Jasa Reksatama Rp 2.978.723.000 dan PT Wesitan Konsultasi Pembangunan Rp 2.872.870.000.
Pemuatan plang papan nama proyek tersebut dinilai tidak lengkap. Artinya, setengah hati atau asal ada yang dilakukan oleh kontraktor-konsultan dengan bekerjasama Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Padahal, sesuai Undang-undang No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), masyarakat berhak mengetahui dan mengawasi setiap kegiatan pembangunan yang dibiayai oleh uang rakyat (APBN dan APBD).
Didalam papan nama proyek, setidaknya memuat tentang nama proyek, nomor kontrak proyek, nilai anggaran, sumber anggaran, volume pekerjaan, masa pelaksanaan, nama kontraktor pelaksana dan nama konsultan pengawas.
Selain UU KIP juga dipertegas tentang transparansi pelaksanaan program pemerintah seperti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 12/PRT/M/2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan.
LSM Bicara
Ketua Umum Lapan (Lembaga Pemantau Aparat Negara), Gintar Hasugian kepada HR menjelaskan, kegiatan pekerjaan proyek, tanpa melengkapi unsur semua di papan nama proyek di lokasi pekerjaan adalah pelanggaran.
Papan nama proyek wajib terpasang dan isinya pun harus lengkap, bukan setengah-setengah.
“Itu sesuai aturan dengan pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah, keberadaan papan proyek wajib dilaksanakan pelaksana kegiatan, meski kadang dipandang sebelah mata,” ujar Gintar kepada HR, (17/01/19 ), di Jakarta.
Kewajiban memasang plang papan nama tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 70/2012 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Regulasi ini mengatur setiap pekerjaan bangunan fisik yang dibiayai negara wajib memasang papan nama proyek.
“Sesuai aturan, jelas isi papan nama proyek, diantaranya memuat jenis kegiatan, lokasi proyek, nomor kontrak, waktu pelaksanaan proyek, nilai kontrak, sumber anggaran, jangka waktu dan lama pengerjaan proyek, “ujar Gintar.
Persoalannya, kata Gintar, seperti ini dampak dari tidak transparansi. Kalau terpasang papan proyek dan disebutkan sumber dananya, nilai dananya tidak akan menimbulkan prasangka, ini dan itu. Jadi sekecil apapun, atau tidak lengkap isi papan proyek itu bisa-bisa dikategorikan rawan korupsi. tim