Dewan Pers Turun Tangan! Wartawan FK di Kalbar Diduga Peras AS

PONTIANAK, HR – Kalimantan Barat, tanah yang subur dengan emas hitam dan cerita-cerita pilu tentang “jurnalisme bayaran”. Di sini, seseorang berinisial AS baru saja merasakan betapa mahalnya harga nama baik di era digital.

Oknum wartawan dari media berinisial FK dengan kreativitas luar biasa, memproduksi 18 berita dalam 24 hari—sebuah rekor produktivitas yang bikin penulis novel fast fiction pun malu. Tapi tunggu, motifnya bukan untuk membongkar kebenaran, melainkan “memeras dengan elegan” lewat chat digital: “Bayar Rp5 M, atau berita terus mengalir.” Ah, alangkah romantis-nya ancaman yang dibungkus kalimat jurnalistik.

 

Dewan Pers Turun Tangan

Dewan Pers, yang biasanya sibuk mengawasi pemberitaan hoaks, kini harus jadi wasit dalam duel AS vs FK Surat resmi dari Profesor Dr Komaruddin Hidayat (yang mungkin sedang bertanya-tanya, “Ini kasus apa lagi?!” mengundang kedua belah pihak ke Zoom Meeting pada 10 Juni 2025.

Pertanyaannya adalah:

– Apakah mediasi ini akan berakhir dengan permintaan maaf dan berita ditarik?

– Atau justru jadi bahan season finale drama “Jurnalis vs Pengusaha”?

Yang jelas, AS tak main-main. Selain ke Dewan Pers, dia sudah menghibahkan kasus ini ke Polda Kalbar. Surat resmi dari Direktur Reskrimsus (No: B/55/V/RES.2.5/2025) menyebutkan penyelidikan telah dimulai.

Polda Kalbar tak main-main. Mereka menyelidiki UU ITE Pasal 45A jo Pasal 28 (penyebaran informasi bohong), Pasal 45B jo Pasal 29 (ancaman lewat elektronik), dan Pasal 45 ayat 4 jo Pasal 27A (pencemaran nama baik).

Apakah ini penegakan hukum atau sekadar formalitas birokrasi? Jika terbukti, akankah oknum wartawan FK dipenjara atau cukup diberi sanksi moral ala “Jangan ulangi lagi, ya?”

Ini bukan kasus pertama, dan sayangnya, bukan yang terakhir. Pola oknum wartawan nakal selalu sama: Cari tokoh yang punya duit. Buat berita negatif. Tawarkan “solusi damai” berupa uang tutup mulut.

AS mungkin hanya satu dari banyak korban. Tapi berapa lagi pengusaha, politisi, atau bahkan masyarakat biasa yang harus menebus nama baik mereka?

Dewan Pers punya tugas berat: Memastikan mediasi 10 Juni berjalan adil. Mengawasi media FK (apakah ini pola sistemik atau hanya oknum?). Memulihkan kepercayaan publik bahwa jurnalis bukanlah preman berbentuk pena.

Jika tidak, maka jurnalisme Indonesia akan terus dianggap sebagai profesi yang lebih dekat dengan calo daripada watchdog.

Inilah potret buram jurnalisme Indonesia: di satu sisi ada pahlawan pemberi suara pada rakyat, di sisi lain ada oknum yang menjadikan profesi mulia ini sebagai mesin ATM.

Kita tunggu saja episode selanjutnya: apakah AS akan mendapat keadilan, atau justru FK akan lolos dengan alasan ‘kebebasan pers. lp

[rss_custom_reader]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *