Dari Kebijakan Menuju Kebajikan: Membangun Ekosistem Kesalehan Ekologis di Madrasah

Oleh: Dr. Nurlaelah, M.Pd.

A. Pendahuluan

Eskalasi krisis lingkungan global pada abad ke-21 telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Perubahan iklim, degradasi biodiversitas, dan polusi masif bukan lagi sekadar isu saintifik, melainkan ancaman eksistensial bagi peradaban manusia. Dalam konteks Indonesia, madrasah sebagai institusi pendidikan berbasis Islam memiliki posisi strategis untuk menjawab tantangan ini. Dengan populasi jutaan siswa di seluruh pelosok negeri, madrasah bukan hanya pusat transmisi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tetapi juga pusat transformasi karakter (transformation of character).

Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya diskoneksi antara nilai-nilai teologis yang diajarkan dengan praktik keseharian. Banyak madrasah terjebak dalam jebakan formalitas kebijakan, seperti pengejaran sertifikasi Adiwiyata yang sering kali hanya berhenti pada tataran dokumentasi administratif. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan lingkungan belum sepenuhnya bertransformasi menjadi “kebajikan” atau kesadaran moral yang otonom.

Artikel ini bermaksud membedah bagaimana madrasah dapat membangun ekosistem “Kesalehan Ekologis”. Konsep ini melampaui kepatuhan terhadap aturan; ia adalah integrasi antara iman, ilmu, dan amal yang berorientasi pada pelestarian ciptaan Tuhan. Kita perlu beranjak dari sekadar narasi administratif menuju aksi etis yang berakar pada teologi Islam yang progresif.

B. Pembahasan

1. Dekonstruksi Teologi Lingkungan: Alam sebagai Ayat Kauniyah

Langkah awal dalam membangun kesalehan ekologis adalah melalui rekonstruksi pemahaman teologis. Dalam tradisi Islam, alam semesta tidak dipandang sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai ayat kauniyah (tanda-tanda kekuasaan Allah) yang sejajar dengan ayat qauliyah (teks Al-Qur’an).

Secara fundamental, konsep Tauhid harus dimaknai sebagai kesatuan penciptaan. Jika Allah adalah Maha Pencipta, maka merusak alam berarti menghina karya Sang Pencipta. Surah Ar-Rum ayat 41 secara eksplisit menyatakan bahwa kerusakan di darat dan di laut adalah akibat ulah tangan manusia, agar mereka merasakan sebagian dari dampak perbuatannya dan kembali ke jalan yang benar.

Madrasah harus mengajarkan bahwa status manusia sebagai Khalifah fil ardh (wakil Tuhan di bumi) bukanlah lisensi untuk mendominasi (dominion), melainkan mandat untuk memelihara (stewardship). Kesalehan seorang Muslim tidak hanya diukur dari sujudnya di atas sajadah, tetapi juga dari jejak ekologis yang ditinggalkannya di muka bumi. Inilah inti dari “Kesalehan Ekologis”: sebuah kondisi di mana kesadaran spiritual memandu perilaku terhadap alam.

2. Internalisasi Nilai: Melampaui Kurikulum Tekstual

Masalah utama dalam pendidikan lingkungan saat ini adalah sifatnya yang “tempelan” atau sekadar tambahan instruksional. Untuk membangun ekosistem kesalehan ekologis, pendidikan lingkungan harus diintegrasikan secara holistik ke dalam seluruh rumpun mata pelajaran, terutama Pendidikan Agama Islam (PAI).

Fiqih Ekologi (Fiqih al-Bi’ah): Pelajaran Fiqih tidak boleh hanya membahas aspek ritual secara kaku. Pembahasan tentang Thaharah (bersuci) harus dikoneksikan dengan isu krisis air global dan pentingnya menjaga kebersihan drainase. Siswa harus diajarkan bahwa berwudhu dengan boros air adalah hal yang makruh bahkan mendekati haram, meskipun air tersebut melimpah.

Akidah Akhlak: Karakter peduli lingkungan harus ditempatkan sebagai bagian dari akhlakul karimah. Membuang sampah pada tempatnya atau menanam pohon harus diposisikan sebagai “sedekah jariyah” yang pahalanya terus mengalir.

Sejarah Kebudayaan Islam: Menonjolkan bagaimana peradaban Islam klasik membangun sistem irigasi yang efisien dan taman-taman kota yang menjaga keseimbangan ekosistem.

Dengan pendekatan ini, siswa tidak lagi menghafal teori lingkungan demi ujian, melainkan menjadikannya sebagai bagian dari identitas religius mereka.

3. Kepemimpinan Ekologis dan Habitualisasi (Uswatun Hasanah)

Transformasi dari kebijakan menuju kebajikan memerlukan lokomotif perubahan, yaitu kepala madrasah dan guru. Dalam sosiologi pendidikan, perilaku siswa lebih banyak dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat (hidden curriculum) daripada apa yang mereka dengar di kelas.

Kepemimpinan ekologis (ecological leadership) menuntut manajemen madrasah untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perilaku hijau. Misalnya, kebijakan larangan plastik sekali pakai di kantin, penyediaan titik isi ulang air minum, dan sistem pengolahan kompos di sekolah. Jika seorang guru terbiasa mematikan lampu setelah selesai mengajar atau memungut sampah di halaman tanpa ragu, siswa akan mengadopsi perilaku tersebut sebagai norma sosial, bukan sebagai tekanan regulasi.

Proses habitualisasi ini krusial untuk membentuk habitus baru. Kesalehan ekologis harus menjadi “nafas” madrasah. Melalui pengulangan terus-menerus, tindakan menjaga alam akan bergeser dari tindakan sadar yang berat menjadi tindakan spontan yang lahir dari karakter yang kuat.

4. Tantangan Digital dan Ekopedagogi Modern

Di era digital, madrasah juga menghadapi tantangan konsumerisme yang dipicu oleh media sosial. Budaya fast fashion dan tren belanja online meningkatkan volume limbah secara drastis. Ekopedagogi di madrasah harus mampu mengkritisi gaya hidup konsumtif ini melalui perspektif Zuhud (kesahajaan).

Madrasah dapat memanfaatkan teknologi untuk memperkuat kesalehan ekologis. Misalnya, menggunakan aplikasi pemantau penggunaan energi di sekolah atau membuat proyek konten kreatif digital tentang “Dakwah Lingkungan”. Ini memastikan bahwa nilai-nilai kebajikan tetap relevan dengan dinamika zaman dan tidak terkesan arkais atau kuno.

5. Membangun Sinergi dengan Komunitas (School-Community Partnership)

Ekosistem kesalehan ekologis tidak boleh berhenti di gerbang madrasah. Dampak dari kebajikan ini harus dirasakan oleh masyarakat sekitar. Madrasah dapat menjadi pusat edukasi lingkungan bagi warga, misalnya melalui program “Jumat Bersih Bersama” atau pengolahan limbah organik warga oleh tim siswa madrasah.

Kolaborasi dengan orang tua juga vital. Nilai-nilai yang dibangun di madrasah akan runtuh jika di rumah siswa melihat praktik yang kontradiktif. Oleh karena itu, madrasah perlu membangun komunikasi intensif dengan wali murid tentang pentingnya mendukung gaya hidup berkelanjutan sebagai wujud pengamalan agama di tingkat keluarga.

C. Penutup: Madrasah sebagai Oase Peradaban

Membangun ekosistem kesalehan ekologis di madrasah adalah ikhtiar untuk mengembalikan esensi pendidikan Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam). Kita sedang tidak hanya membangun gedung hijau atau menanam ribuan pohon, tetapi kita sedang membangun kesadaran manusia.

Perubahan dari kebijakan menuju kebajikan adalah sebuah perjalanan spiritual. Kebijakan mungkin bisa memaksa orang untuk menanam pohon, tetapi hanya kebajikan yang membuat mereka terus merawat pohon tersebut meski tidak ada lagi kamera yang memotret.

Pada akhirnya, kesuksesan sebuah madrasah dalam membangun ekosistem ini tidak diukur dari megahnya fasilitas atau banyaknya trofi Adiwiyata yang berderet di lemari kaca. Ukuran keberhasilannya adalah ketika setiap lulusan madrasah keluar membawa iman di dadanya dan kepedulian pada bumi di tangannya. Mereka adalah generasi yang memahami bahwa mencintai Tuhan berarti mencintai dan menjaga seluruh ciptaan-Nya. Dengan demikian, madrasah akan benar-benar menjadi oase peradaban yang menyejukkan di tengah panasnya krisis lingkungan global.

[rss_custom_reader]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *