JAKARTA, HR – Masyarakat Peduli Peradilan mengharapkan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat harus objektif dan tak melanggar Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dalam memutus perkara terdakwa Hakan Ozevin bin Osman Ozevin yang merupakan warga negara asing (WNA) disidangkan karena kasus Narkoba.
“Kita mengharapkan putusan ketua majelis hakim harus objektif dan tidak melanggar SEMA No 4 Tahun 2010 pada perkara terdakwa Hakan, biar tidak ada diskriminasi dan kecemburuan sosial para terdakwa pengguna narkoba lain. Bila hakim memvonis melanggar SEMA akan kita laporkan ke Pengawasan MA,” kata Tagor Cicago, Masyarakat Peduli Peradilan, kemarin.
Pada sidang Selasa (13/2/2018) kemarin, Hakan Ozevin dengan No Perkara: 2269/Pid.Sus/2017/PN Jkt.Brt telah dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yerich Mohda dengan pasal 127 ayat 1 huruf a Undang Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan pidana penjara selama 1,5 tahun.
Dalam cacatan HR, setidaknya ada 5 (lima) hal yang janggal terpantau di persidangan terdakwa Hakan Ozevin ini untuk direhabilitasi.
Pertama, saksi yang mengasesmen diperiksa dari dokter Yayasan Kesembilan bukan dari dokter pemerintah sebagaimana dalam SEMA No 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Dalam Edaran tersebut jelas disebutkan bahwa perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim.
Kedua, saat usai jaksa menuntut terdakwa kemarin, ketua majelis hakim Masrizal bertanya kepada terdakwa apakah pernah diasesmen BNN, dijawab terdakwa pakai melalui penerjemahnya bahwa pernah diasesmen. Namun tidak diperiksa di persidangan. Padahal, pasal 185 ayat 1 KUHAP jelas menjelaskan, bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan sidang pengadilan.
Bila dokter yang mengasesmen statusnya sebagai ahli jelas disebutkan pada pasal 186 KUHAP, bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Artinya tidak hanya cukup pengakuan terdakwa mengaku pernah di asesmen BNN.
Ketiga, bahwa jumah barang bukti Narkoba sabu terdakwa disebut-sebut melebihi dari 1 gram, sementara aturan SEMA No 4 Tahun 2010 disebutkan maksimal sabu sebanyak 1 gram.
Keempat, ketua majelis hakim diduga tidak memeriksa sumpah penerjemah dalam berkas, apakah ada atau tidak, sebagaimana standar penerjemah tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No 29 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pelaporan, dan Pemberhentian Penerjemah Tersumpah.
Kelima, karena terdakwa merupakan WNA, belum ada aturan yang memerintahkan bahwa terdakwa WNA pengguna narkotika untuk dilakukan rehabilitasi.
Sebelumnya, beredar issu bahwa perkara terdakwa Hakan Ozevin ada yang mengurus perkara ini untuk direhabilitasi, hanya saja informasi itu masih terus dikorek oleh HR. jt