Bengkulu juga rawan bencana gunung api, kekeringan, cuaca ekstrim, gelombang ekstrim, abrasi, serta kebakaran hutan dan lahan. Ad beberapa poin penting yang menjadu catatan terkait hal tersebut di antaranya.
1. Perlunya sosialisasi untuk mencapai kesepahaman terkait PDB.
2. Pentingnya koordinasi sipil-militer dalam tahapan penanganan bencana.
3. Penyusunan rencana kontingensi (Renkon) atau rencana operasi (RO) untuk meningkatkan koordinasi dan sinergi.
4. Diperlukannya regulasi dan pedoman yang bersifat operasional sebagai turunan dari undang-undang yang sudah ada.
Pemapar utama, Mayor Cke Dr. Indra Kristian, menambahkan bahwa Apkowil saat ini telah berada dalam tahap Madya berdasarkan hasil penilaian. Namun, diperlukan adanya regulasi terkait penguatan kelembagaan Apkowil, termasuk usulan agar Kasdim dapat menjadi ex-officio pejabat BPBD. Mayor Indra juga menyoroti pentingnya membuka kembali kursus manajemen bencana di Pusdiklatjemenhan.
Kolonel Inf Saad Miyanta dari Pusterad, sebagai penanggap pertama, menyampaikan bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh pemapar telah relevan dengan lima kemampuan teritorial. Namun, ia menegaskan bahwa Pusterad hanya sebagai pelaksana teknis, sementara kebijakan ada di Sterad.
Seminar ini dihadiri oleh para pejabat utama, Widyaiswara Pusdiklatjemenhan, serta undangan dari mahasiswa Prodi Manajemen Bencana Universitas Pertahanan. Seminar dilaksanakan secara hybrid, dengan testimoni dari beberapa pelaku yang terlibat secara langsung dalam bencana yang terjadi di Cianjur, baik dari apparat komando kewilayahan, unsur Pemerintahan Daerah maupun masyarakat. ***rls •ependi siilalahi