Dialirkan ke kali Porong bukan dalam bentuk material lumpur
SURABAYA, HR – Peristiwa semburan lumpur panas Sidoarjo atau lebih dikenal dengan Lumpur Lapindo yang terjadi di lokasi pengeboran PT. Lapindo Brantas yang terletak di Dusun Balongnongo Desa Renokenongo Kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur sampai sekarang masih meninggalkan luka yang mendalam bagi warga terdampak dikarenakan telah menenggelamkan sejarah kehidupan sosial masyarakat setempat.
Seperti diketahui, peristiwa semburan Lumpur Lapindo terjadi sekitar 16 tahun yang lalu, tepatnya terjadi pada tanggal 29 Mei 2006. Dampak dari semburan panas Lumpur Lapindo tersebut telah menenggelamkan ratusan hektar lahan yang terdiri dari kawasan pertanian, perumahan, lahan industri dan juga jalan raya.
Ironisnya, sampai saat ini dampak dari peristiwa yang disebabkan oleh ulah pihak swasta tersebut malah menjadi beban keuangan negara (APBN) dan diperkirakan telah menggerogoti uang negara triliunan Rupiah, baik dipergunakan untuk menalangi penggantian kerugian warga yang terdampak, untuk membangun dinding penahan kolam lumpur, serta untuk membiayai proyek pengaliran lumpur panas ke Kali Porong.
Informasi yang diperoleh koran ini dari beberapa penggiat anti rasuah yang ada di Kabupaten Sidoarjo menyebutkan bahwa proyek penanganan Lumpur Sidoarjo setiap tahunnya diduga dijadikan ajang bancaan oknum pejabat Satuan Kerja SNVT Pengendalian Lumpur Sidoarjo dengan pihak swasta.
Belum lama ini (21/06) HR mendapatkan Salinan Surat Pengaduan LSM Government Watch (GW) yang ditujukan ke Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Pemasalahan yang diadukan LSM GW yakni pekerjaan Pengaliran Lumpur ke Kali Porong Tahun Anggaran (TA) 2021 dan TA 2020.
Untuk Pekerjaan Pengaliran Lumpur ke Kali Porong TA 2021 HPS Rp. 157.959.770.000,-, dimenangkan oleh PT. Nindya Karya Wilayah 6 dengan nilai penawaran Rp. 108.991.868.000,- (70%). Menurut perwakilan LSM GW, pada pekerjaan tersebut telah terjadi pengurangan volume, dimana berdasarkan KAK yang ditetapkan Satker, untuk pekerjaan pengalihan lumpur dari kolam penampungan ke Kali Porong dengan volume 20.081.878 m3 membutuhkan waktu 278 hari atau rata-rata 74.377,33 m3 perhari.
Hasil investigasi LSM GW di lapangan mulai hari Senin – Sabtu dalam 1 bulan 24 hari kerja dengan waktu kontrak selama 192 hari kalender, diperoleh volume lumpur yang dapat dialirkan hanya sebanyak 14.280.384 m3 (74.377,33 m3 x 192 hari), terdapat sisa lumpur sebanyak 5.801.494 m3 yang masih berada di kolam penampungan. Hal tersebut menurut LSM GW diduga telah terjadi manipulasi data pembuangan lumpur agar prestasi pekerjaan dibayar 100 % Negara.
Sementara, untuk Pekerjaan Pengaliran Lumpur ke Kali Porong TA 2020, LSM GW menyoroti adanya mark up nilai HPS, disamping itu LSM GW juga menyoroti adanya dugaan pengurangan volume lumpur sebesar 11.041.254 m3.
Terkait adanya temuan dugaan perbuatan melawan hukum di kedua paket tersebut, HR sudah beberapa kali meminta konfirmasi melalui pesan WhatsApp ke nomor ponsel Candra Kristianto, ST., MT., MA. selaku PPK Pengendalian Lumpur Sidoarjo. Tapi sayangnya sampai berita ini naik cetak, Candra belum menanggapinya.
Perlu diketahui, informasi yang beradar di Jawa Timur, diduga beberapa oknum LSM dan wartawan telah disumpal Candra agar tidak melaporkan ke Aparat Penegak Hukum terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) di kedua paket pekerjaan yang sedang disorot LSM GW tersebut. bersambung/tim