Akta Nikah Palsu, Herman: Kita Buktikan di Pengadilan Agama

oleh -604 views
oleh
JAKARTA, HR – Sidang lanjutan kasus melarikan wanita dengan paksa dan melakukan hubungan suami istri dengan paksa atas nama terdakwa Boby Hendrica alias Fatur kembali digelar Kamis (22/10) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara dengan agenda tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Mohammad Herman Sitompul SH MH
Sidang tertutup untuk umum yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Jefferson Tarigan, SH , MH itu JPU Murjudin, SH sebagai jaksa penggati Theodora Marpaung membacakan tanggapan atas pledoi (pembelaan) terdakwa Boby Hendrica alias Fatur melalui Penasehat Hukum dari LAW Office Dr. Djonggi M. Simorangkir, SH., MH, Dr. Ida Rumindang Raja Gukguk, SH., MH, dan Mohammad Herman Sitompul, SH., MH, bahwa terdakwa terbukti bersalah melarikan wanita dngan paksa dengan maksud menguasainya atau melakukan hubungan suami istri dengan paksa atau untuk dimiliki sebagaimana diatur dalam Pasal 332 ayat (1) ke 2 HUHP. Hal itu dibuktikan dari keterangan saksi yang terungkap dipersidangan, kata Herman Sitompul kepada HR usai persidangan, menyampaikan surat tanggapan JPU atas pledoinya.
Menanggapi surat tanggapan JPU itu Herman tersenyum. “Saya berterimakasih atas surat tanggapan jaksa itu. Justru yang saya heran, saksi yang mana, siapa saksi yang bersaksi menguatkan dakwaan jaksa? hanya saksi polisi yang menguatkan dakwaan jaksa. Tapi polisikan saksi penyidik, bukan saksi fakta. Karena terdakwa ditangkap bukan karena berbuat criminal. Jadi kesaksian polisi itu tidaklah masuk dalam saksi kunci. Sementara saksi Astuti Nur Ali (saksi Pelapor) dipersidangan mengaku bahwa dia melakukan pelaporan atas desakan Aditia Zafri Harahap (saksi pelapor-suami Astuti) berdasarkan pernikahan tahun 2001. Sementara akta nikah Boby Hendrica dengan Astuti Nur Ali adalah 4 Juni 2009. Istri satu dua suami?” ungkap Herman.
Selanjutnya Herman menerangkan tanggapan jaksa yang mengatakan bahwa pernikahan terdakwa Boby Hendrica dengan Astuti Nur Ali (saksi pelapor) tidak sah. Menurutnya, di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) segala sesuatu diatur oleh undang undang. Jika dikatakan tidak sah harus diuji. Surat nikah yang tidak sah diuji dipengadilan agama. Lagi pula, NKRI masih mengakui hukum agama, hukum adat, dan termasuk juga nikah sirih, diakui. Jadi bagaimana saudara jaksa itu mengatakan bahwa pernikahan antara Boby dan Astuti tidak sah, padahal belum diuji?”, pungkasnya.
“Sebenarnya semua sudah sangat jelas terungkap dipersidangan. Siapa yang berkeinginan dan siapa yang mengingini sudah terang benderang. Antara boby dan Astuti tetap saling mencintai. Bahkan Astuti dalam persidangan mengakui bahwa dirinya lebih nyaman bersama boby dari pada bersama Aditia Zafri Harahap (saksi pelapor-suami Astuti). Terus kalau begini siapa yang salah?”, ungkapnya.
Lebih jauh Herman mengungkapkan kejanggalan kejanggalan bukti bukti yang diajukan JPU dihadapan persidangan semakin membuka bahwa telah terjadi rekayasa. Sebab, Jaksa Penuntut Theodora Marpaung dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara mengajukan bukti surat yang kadaluarsa, yakni hasil visum edrepertum No. 17/IV/PKT/01/2015, tanggal 14 April 2015 oleh dokter RSCM, yang menyebutkan: “pada pemeriksaan korban berusia 34 tahun ini ditemukan kemerahan pada bibir kecil kemaluan bagian dalam yang dapat terjadi akibat persetubuhan baru seperti yang diakui korban. Ditemukan robekan lama pada selaput dara akibat persetubuhan lama. Pada pemeriksaan tidak ditemukan air mani”.
Sesuai isi dakwaan, perbuatan hubungan suami istri (perzinahan) itu dilakukan pada tanggal 12 Januari 2015 di hotel C’One, dan sementara hasil visum edrepertum baru keluara tanggal 14 April 2015. Ada dua bulan rentang waktu. Cukup lama. Berdasarkan surat bukti tersebut, menurut Kuasa Hukum terdakwa Boby, Mohammad Herman Sitompul, SH., MH menyatakan bahwa dakwaan dan tuntutan JPU harus batal demi hukum.
“Dakwaan jaksa sebagaimana dalam dakwaan primer pasal 332 ayat (1) ke 2 KUHP, melarikan wanita dengan paksa tidak relevan lagi dalam perkara ini. Bagaimana mungkin perbuatan hubungan suami istri dilakukan tanggal 12 Januari 2015 dibuktikan tanggal 14 April 2015 ? memangnya tes keperawan?”, tegas Herman mengulang pernyataannya yang sudah disampaikan pada sidang sebelumnya kepada wartawan seusai pembacaan surat pembelaannya.
Dalam surat pledoinya juga disebut bahwa Astuti Nur Ali telah melahirkan seorang anak dan sesuai hasil tes DNA bahwa golongan darahnya sama dengan golongan darah terdakwa Boby. Oleh karena itulah Boby meminta ketegasan akan kelanjutan hubungan pernikahannya dengan Astuti, sebagaimana yang telah dilakukan pada Akad Nikah tanggal 4 Juni 2009.
Selain itu, dalam pledoinya juga disebutkan bahwa Astuti Nur Ali pernah menikah dengan seorang Kyai yang sudah usia ujur di kota Surabaya, dan juga pernah menjadi wanita simpanan orang China. Jadi pada kesimpulannya kata Herman bahwa Astuti dan Aditia Zafri Harahap (saksi pelapor-suami Astuti) bekerja sama melakukan persekongkolan memeras terdakwa. Dan itu terbukti setelah harta terdakwa ludes diporoti si Astuti hingga jual rumah dan Astuti dapat bagian Rp.90 juta, dari penjualan rumah itu barulah mulai muncul ancaman, intimidasi terhadap diri Boby dan anak anaknya.
Berdasarkan bukti-buki yang sudah dipaparkan dalam pledio tersebut maka kuasa hukum terdakwa dan terdakwa sendiri memohon kepada majelis hakim agar membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum, membebankan biaya perkara kepada Negara serta mengembalikan harkat dan martabat terdakwa kepada kedudukan semula. Sesuai adagium yang berbunyi; “Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah”.
“Jika ada tindak pidana dalam perbuatan Boby, maka yang harus dihukum adalah perbuatan Boby dan Astuti yang telah melakukan perselingkuhan. Karena apa yang dilakukan antara Boby dan Astuti adalah berdasarkan suka sama suka. Sebab dalam persidangan, Astuti sendiri mengaku lebih nikmat bersama Boby dari pada bersama suaminya (Aditia Zafra Harahap). Jadi, dimana perbuata pasal 332,333,335 dan Pasal 285 KUHPnya?”, ujar Herman dengan nada penuh tanya.
Dan Herman juga menegaskan bahwa 8 orang saksi yang dihadirkan JPU adalah saksi rekayasa. Karena dalam kesaksiannya mereka tidak banyak tahu peristiwa dan bahkan ada yang tidak tahu. Padahal menurut Herman, saksi yang paling ideal dalam perkara ini adalah security apartemen yang menyaksikan secara langsung bagaimana peristiwa itu terjadi. Tetapi jaksa tidak mau menghadirkannya,” jelasnya.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Theodora Marpaung, SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara menjatuhkan tuntutan 6 tahun pidana penjara terhadap terdakwa Boby Hendrica alias Fatur (40) karena telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana melarikan wanita (Astuti Nur Ali-34 tahun) dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, dengan maksud untuk memiliki wanita itu baik dengan perkawinan, maupun tidak dengan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 332 ayat (1) ke 2 KHUP, Jo. Pasal 333 ayat (1) KUHP, Jo. Pasal 285 KUHP dan Pasal 335 ayat (1) ke 1 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). thom

Response (1)

Tinggalkan Balasan