Advokat Elisa: BAP Ngawur, Laporan KDRT Rekayasa

oleh -454 views
oleh
JAKARTA, HR – Persidangan kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) atas nama terdakwa JA yang disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara dianggap kesia-siaan yang hanya menghabiskan waktu dan tenaga, dan menghambur-hamburkan materi. Demikian dikatakan Advokat Revolusioner Elisa Manurung, SH.

Menurutnya, jika seandainya semua pihak professional dan proporsional dalam menangani kasus ini, persidangan ini tidak perlu digelar.

“Mulai dari pelapor, kepolisian dan kejaksaan,” tegas Elisa.
Alasannya, pertama; perkawinan baru 4 bulan, sudah menunjukkan egoisme yang tinggi. Mana ada pernikahan menjalani biduk rumahtangga yang tidak pernah bermasalah? Justru masalah itulah yang mendewasakan rumahtangga itu. Baru ribut sekali langsung buat laporan KDRT, menurut Elisa ini adalah ego.
Kedua; kepolisian; kepolisian membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan) yang berbelit-belit, tidak jelas terkontruksi, kapan dilaporkan ke polisi dan kapan dibuat visum tidak jelas. Tetapi Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat menyatakan berkas lengkap dan dilimpahkan ke pengadilan. Ini semua membuat carut marut peradilan di NKRI.
Elisa mejelaskan bahwa dalam dakwaan jaksa disebutkan Lapor tanggal 8 Oktober tetapi surat laporan tidak jelas ada. Menurut saksi pelapor yang diperiksa dipersidangan bahwa laporan polisi dibuat tanggal 8 Oktober 2015 Pagi antara pkl 001-004, langsung setelah kejadian pkl 22.30 tanggal 8 Oktober. Namun dalam berkas surat laporan polisi tanggal 25 Oktober.
Kemudian keterangan saksi bahwa pada tanggal 9 Oktober itu saksi pelapor tidak mendapat surat tanda Laporan dari polisi hanya menanda tangani surat pengaduan dalam buku agenda polisi.
Kemudian, tambahnya, pada pkl 004.40 sudah selesai membuat Visum Etrevertum di RS Gading Pluit, Kelapa Gading.
Padahal jelas Elisa bahwa dasar pembuatan visum Et Revertum ke rumah sakit adalah laporan polisi. Itu jelas diatur di KUHAP dan dijabarkan dalam PP 27 Tahun 1983 tetang pelaksanaan KUHAP, ujarnya.
Kemudian, sesuai keterangan saksi Pelapor (Winda Panjaitan) di dalam persidangan bahwa pada tanggal 25 Oktober saksi pelapor di BAP penyidik Polsek Kelapa Gading. Tidak membuat laporan, tetapi surat Laporan Polisi tertanggal 25 Oktober 2015, ungkap Elisa.
Lalu Dia bertanya, kapan Laporan Polisi dibuat? Sementara dasar untuk melakukan BAP adalah Laporan Polisi. Jadi menurut Sang Advokat Revolusioner patut diduga telah terjadi peradilan sesat, jadi jangan sampai majelis memutus sesat pula, tegasnya.
Elisa mengatakan bahwa untuk membuat laporan polisi, visum etrevertum dan BAP diatur dalam Perkap No. 4 Tahun 2012. Yakni, Laporan Polisi, BAP dan Visum etrevertum. Kemudian saksi ahli forensic harus dari RS Negeri, bukan RS Swata. Selain itu kejanggalan yang terjadi adalah saksi ahli yang dipanggil oleh jaksa adalah Doktor Jaya dar RSCM, tetapi yang hadir dipersidangan adalah doter Hendro dari RS Gading Pluit (RS Swasta).
Kemudian, tidak ada saksi yang melihat peristiwa KDRT, hanya Tuhan dan malaikatlah yang menjadi saksi, pungkas Elisa.
Kuasa Hukum terdakwa Ombun Suryono Sidauruk, SH menyebutkan bahwa perkara ini adalah perkara yang dibuat buat. Yang tidak menjadi masalah dipermasalahkan.
“Ini ego…! Hal ini seharusnya tidak terjadi jika ego tidak dikedepankan. Perkawinan 4 bulan dan ada emosi itu logis. Jadi kita berharap majelis dapat melihat kasus ini secara proporsional,” ucap Ombun, berharap.
Ombun Suryono mengungkapkan bahwa dr. Hendro dari RS Gading Pluit membuat visum etrevertum atau visusm etrevertum ditingkatkan dari “Medical Record”. Ini tidak boleh. Visum harus factual tidak bisa diabuat dari keterangan orang.
Selain itu, Dr Hendro hanyalah seorang dokter jaga (piket) saat itu. Jadi hasil visum yang dibuat Dr. Hendro tidaklah pro-justitia, hanyalah pemeriksaan seorang dokter terhadap pasiennya, ucap Ombun.
Menurut Ombun Bahwa kesaksian saksi yang dihadirkan kepersidangan hanyalah yang mngatkan; katanya. Tidak ada saksi yang melihat terjadinya peristiwa KDRT.
“Ini murni rekayasa. Ibunya pelapor mengatakan; katanya. Bapaknya pelapor juga bersaksi mengatakan; katanya.
Bapak dan ibunya terlapor juga bersaksi mengatakan, katanya. Jadi keterangan saksi yang mana yang menunjukkan bahwa telah terjadi KDRT? Sementara dalam KUHAP diatur, minimal dua alat bukti, ini tidak ada alat bukti. Visum juga diragukan,” ungkap Ombun Suryono Sidauruk, SH. tom


(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tinggalkan Balasan