JAKARTA, HR – Pengadilan Negeri (PN) Tuban menjatuhkan vonis 10 bulan penjara kepada 12 terdakwa yang terjerat kasus pemerasan berdasarkan Pasal 368 KUHP. Namun, keputusan ini menimbulkan polemik setelah muncul dugaan adanya praktik makelar kasus (markus) yang melibatkan seorang perantara berinisial S.
Sebelumnya, keluarga para terdakwa mengaku telah menyerahkan sejumlah uang mencapai Rp90 juta kepada S dengan harapan bahwa para terdakwa akan mendapatkan hukuman ringan, sesuai janji yang diutarakan oleh perantara tersebut. Namun, dengan vonis 10 bulan penjara yang dijatuhkan majelis hakim, keluarga para terdakwa merasa tertipu dan kecewa karena janji tersebut tidak terbukti.
“Kami memberikan uang karena dijanjikan hukuman ringan, tetapi kenyataannya mereka tetap divonis 10 bulan,” ujar salah satu keluarga terdakwa yang tidak ingin disebutkan namanya.
Kasus ini memicu kekhawatiran akan maraknya praktik makelar kasus di peradilan Indonesia. Jika terbukti ada unsur penipuan atau suap dalam proses ini, maka pihak yang terlibat bisa dijerat dengan berbagai ancaman hukuman berat.
Para korban markus juga membeberkan bukti-bukti janji dan sejumlah uang yang sudah ditransfer ke perantara S.
Saat dihubungi, S enggan menjawab konfirmasi melalui pesan singkat WhatsApp.
Ancaman Hukum bagi Makelar Kasus
Praktik makelar kasus, yang melibatkan oknum yang menjanjikan hasil atau keputusan hukum tertentu dengan imbalan uang, dapat dikenakan sanksi pidana yang sangat serius. Dalam hal ini, pelaku yang terbukti melakukan penipuan terhadap keluarga terdakwa dapat dijerat dengan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, dengan ancaman pidana penjara hingga 4 tahun.
Jika praktik makelar kasus melibatkan suap atau gratifikasi dalam proses peradilan, maka pelaku dapat dikenakan Pasal 5, 11, atau 12 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengancam dengan hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda hingga Rp1 miliar. Selain itu, jika ada upaya untuk menghalangi atau memengaruhi jalannya peradilan, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor, yang mengancam pidana hingga 12 tahun penjara.
Bagi para aparat penegak hukum yang terlibat, termasuk hakim atau jaksa, mereka juga bisa menghadapi sanksi kode etik profesi, bahkan pemecatan atau pencabutan izin praktik bagi aadvokat.
Untuk diketahui, dugaan tersebut terjadi pada perkara di PN Tuban dengan nomor perkara 160/Pid.B/2024/PN Tbn.
Adapun 12 terdakwa, diantaranya 1.Moh. Subiyanto Bin Raspan, 2.Suherman Bin Samsudin, 3.Sunarto Bin Giman, 4.M. Abd. Rohim Ghofar Bin Parjan, 5.Juna Heri Maroh Bin Sunprapto, 6.Agus Suprianto Bin Tono, 7.Sufiyan Ardiansa Bin Sugeng, 8.Roni Nasutiyon Bin Suwito, 9.Mislan Bin Sadimin, 10.Muhammad Rojai Bin Tawit, 11.Eko Kariyawan Bin Juki, 12.Moh. Rohim Bin Rohman. (tim)