BENGKULU, HR – Kejaksaan Agung, Jakarta – Dalam acara Focus Group Discussion (FGD) PPPJ Angkatan LXXXI Gelombang II Tahun 2024 pada Rabu 20 November 2024, Jaksa Agung Muda Intelijen, Prof. Dr. Reda Manthovani, S.H., LL.M., menyoroti pentingnya kepemimpinan yang berkesadaran sebagai respons atas masifnya pemikiran kritis masyarakat dan dinamika penegakan hukum di Indonesia.
Acara yang diselenggarakan oleh Badan Diklat Kejaksaan RI ini menekankan pentingnya kesiapan aparatur hukum untuk beradaptasi dengan perubahan sosial dan teknologi yang cepat.
Dalam paparannya, JAM-Intelijen menjelaskan bahwa kepemimpinan yang berkesadaran adalah kemampuan untuk memahami, mengelola, dan memanfaatkan pikiran sadar, pra-sadar, dan bawah sadar dalam pengambilan keputusan. Dengan mengintegrasikan IQ, EQ, dan SQ, pemimpin berkesadaran mampu menciptakan keseimbangan antara logika, emosi, dan spiritualitas dalam menjalankan tugas.
Adapun ciri pemimpin berkesadaran menurut JAM-Intelijen yaitu:
Pandangan yang Benar: Memiliki visi yang jelas tentang apa yang benar dan salah.
Ucapan yang Benar: Berkomunikasi dengan nada yang lembut, tanpa menghasut, dan memberikan solusi konstruktif.
Perbuatan yang Benar: Melakukan tindakan yang bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan.
Upaya yang Benar di Bidang Spiritual: Melatih diri melalui meditasi dan refleksi untuk meningkatkan kualitas spiritualitas.
JAM-Intelijen menggarisbawahi bahwa peningkatan daya kritis masyarakat yang dipengaruhi oleh framing media sosial dan viralitas berita menimbulkan tekanan bagi aparatur penegak hukum. Kondisi ini menuntut proses hukum yang lebih akuntabel, berkeadilan, humanis, dan profesional.
Selain itu, JAM-Intelijen juga memperkenalkan metode berdasarkan teori Skala Kesadaran Hawkins, yang mengajarkan peningkatan dari pola pikir berbasis “force” (pemaksaan) menjadi “power” (pengaruh positif). Praktik meditasi ringan, afirmasi positif, dan pembiasaan perilaku baik disebut sebagai langkah kunci dalam membentuk kepemimpinan berkesadaran.
“Di era teknologi dan generasi yang terus berubah, pemimpin berkesadaran tidak akan bertentangan dengan perubahan zaman. Mereka selalu sadar atas apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan, sehingga dapat beradaptasi dengan baik,” ujar JAM-Intelijen.
JAM-Intelijen menekankan bahwa pembentukan kepemimpinan ideal tidak hanya bertumpu pada pendidikan formal atau pengalaman, tetapi juga pada peningkatan kemampuan EQ dan SQ. “Dengan melatih diri menggunakan metode ini, kita dapat menciptakan pemimpin yang bermanfaat bagi masyarakat dan menjawab tantangan era modern,” pungkasnya. ependi silalahi