BADUNG, HR – Isu terkait dengan potensi gempa bumi dengan kekuatan 8.8 dan tsunami setinggi 20 meter di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa seperti Cilacap, Yogyakarta, sampai Jawa Timur memenuhi sosial media dan elektronik dalam tiga hari terakhir.
Menanggapi hal tersebut, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat merilis pengertian bahwa potensi tersebut sekadar potensi bukan prediksi, sehingga tidak diketahui apa, bagaimana, dan kapan hal tersebut akan terjadi.
“Data terkait dengan potensi gempa bumi dan tsunami yang kami sajikan merupakan potensi maksimal, hal tersebut berarti kemungkinan terburuk yang dapat terjadi di daerah pantai selatan Pulau Jawa. Kendati demikian, kita tidak dapat mengetahui secara pasti apakah gempa dan tsunami benar akan terjadi atau tidak,” jelas Kepala BMKG Wilayah III Denpasar, M. Taufik Gunawan pada konferensi pers di Kantor BMKG Wil. III – Denpasar (21/7/2019).
Taufik menyampaikan, bahwa keresahan yang ada di masyarakat merupakan hal yang wajar. Oleh karena itu, ia merasa perlu untuk memberi pengertian bahwa letak Indonesia yang berada pada pesinggungan 3 lempeng besar dunia memang memposisikan negara kita sebagai lokasi rawan gempa.
“Titik persinggungan yang berada di dasar laut lalu menjadikan kondisi geografis ini juga rawan terhadap dampak lanjutannya yakni gelombang tsunami,” terang Taufik.
Ia menekankan, bahwa pihak BMKG telah memasang alat pendeteksi dini yang dapat mengirimkan sinyal terkait letak dan besaran gempa dalam kurun waktu paling lambat 1 jam setelah gempa terjadi, untuk dapat memberikan informasi yang valid terkait gempa, guna mengantisipasi adanya berita hoaks yang disebarkan dengan tujuan tertentu.
Kendati demikian, Kepala Bidang Manajemen Operasi Seismologi Teknik, Geofisika Potensial dan Tanda Waktu BMKG, Ariska Rudyanto yang juga hadir dalam acara tersebut menekankan bahwa gempa bumi tidak menimbulkan kematian atau luka-luka.
“Perlu dipahami oleh masyarakat bahwa kematian dan luka-luka yang dialami pasca gempa bukan berasal dari gempa itu sendiri, melainkan disebabkan pada reruntuhan yang jatuh pada saat gempa terjadi. Sehingga jika masyarakat dapat tanggap dalam memilih jalur evakuasi dan langkah tepat saat bencana terjadi, maka resiko tersebut dapat diminimalisir,” jelas Aris.
BMKG, menurut Aris, tidak hanya berfokus pada potensi gempa dan tsunami namun juga berfokus pada upaya meminimalisir dampak buruk yang muncul akibat gempa.
“Kami sudah mulai mendata frekuensi natural tanah di beberapa tempat yang berpotensi terkena dampak cukup besar jika terjadi gempa,” ungkapnya.
Dengan menghitung frekuensi natural tanah, kita dapat mengetahui kekuatan maksimal yang dapat muncul saat gempa terjadi, jika frekuensi tersebut lalu setara dengan frekuensi natural bangunan makan bangunan tersebut dapat dinyatakan tidak sehat. Karena kesamaan frekuensi tersebut akan menyebabkan keruntuhan bagi bangunan.
“Selain kedua hal tersebut, penting juga bagi masyarakat untuk melatih dan membiasakan diri dengan metode evakuasi yang tepat. Hal ini menjadi salah satu kunci untuk dapat menyelamatkan banyak nyawa saat bencana terjadi,” jelas Kepala Pelaksana (Kalaksa) Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali, Made Rentin.
Ia juga menyampaikan, bahwa BPBD Provinsi Bali telah memulai program simulasi bencana pada gedung-gedung perkantoran, instansi pendidikan, dan desa dinas yang berada di Bali.
“Pada saat gempa atau tsunami terjadi, tidak ada yang dapat menyelamatkan seseorang kecuali dirinya sendiri. Sehingga pemahaman, pengertian, serta pembiasaan masyarakat terhadap evakuasi bencana penting untuk dimiliki,” tutup Made. gina