MAROS, HR – Grand Mall Maros berdiri kokoh terlihat megah dan indah tampaknya. Setiap hari ramai di kunjungi pengunjung, mulai pagi siang hingga malam hari.
“Akan tetapi saat terik metari siang hari cerah bercahaya, panas pun sangat nampak terlihat dari depan wajah grand mall, seperti tanah tandus. Itu di sebabkan karena kurangnya tanaman hijau tidak sesuai peraturan yang berlaku, yaitu tentang RTH”, “ kata Pemerhati Lingkungan, Anies Putra, Senin (4/2/2019).
Anies memeparkan bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017, Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008, Tentang Rencana Tata Ruang. Dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/Prt/M/2008, Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan.
Kemudian sesuai Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007, Tentang Penataan Ruang Pasal 29, ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat yang mewajibakan luasan 30 % dari luas secara keseluruhan.
Menurutnya sesuai pasal 1 ayat (31) UU ini, ruang terbuka hijau adalah area memanjang atau jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuhnya tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
Dan berdasarkan aturan perundang undangan tersebut, jelas PT. ASL sebagai owner seluruh kawasan grand mall yang luasnya kurang lebih 7 ha, di dalamnya terdapat bangunan grand mall, grand town hotel, permandian dan area permainan anak anak, melakukan pembiaran dan pelanggaran terhadap fungsi fungsi RTH yang seharusnya sudah terbangun sejak awal sebesar 30 persen atau sekitar 1’5 Ha.
Kondisi RTH saat ini yang telah disiapkan berdasarkan luasannya baru sekitar 2,7 are atau sekitar 0,02 persen, masih sangat jauh dari yang seharusnya disediakan.
Ditegaskan Anies pentingnya Pemberian Sanksi bagi pelanggar tata ruang dan dapat diberikan melalui tiga tingkatan, yakni hukuman pidana tiga tahun dan denda 500 juta. Tapi bagi pengguna yang sengaja merubah peruntukan ruang, bisa dikenakan pidana 8 tahun dan denda 1,5 milyar.
“Sanksi-sanksi pidana dan administratif tersebut telah tertuang dalam UU Penataan Ruang, khususnya Pasal 69,” tandasnya.
Anies menyebutkan pengawasan pemerintah terhadap pelaku pelaku industri jasa, hotel, mall dan jenis bisnis niaga lainnya termasuk industri pergudangan perlu di tingkatkan, terutama dinas PUPR dan dinas lingkungan hidup daerah,
Karena selama ini ia berpendapat persoalan RTH masih terabaikan karena masih kurangnya sosialisasi dan belum adanya aturan dan kebijakan pendukung lainnya serta tindakan tegas dari pemerintah daerah Kabupaten Maros.
“Seharusnya RTH menjadi perioritas utama dalam pembangunan, mengingat pentingnya RTH ini sebagai fungsi ekologys, estetika, ekonomi dan fungsi fungsi lainnya,’’ pesannya.
Oleh karena itu Anies berharap pemerintah juga harusnya sudah menyiapkan perda tentang RTH, jangan setelah muncul masalah baru kelabakan dan berdalih tidak ada perda. Sementara undang undang dan permen serta aturan kebijakan lainnya, sejak lama sudah diberlakukan.
Selain itu, tambahnya, pengawasan berkelanjutan setiap saat di lakukan, baik oleh pihakPUPR daerah maupun dinas lingkungan hidup. Jangan ada yang berpangku tangan dan jadi penonton. Apa lagi ini salah satu tugas pokok dalam perlindungan dan pelestarian lingkungan.
“Sederhananya pihak swasta dalam hal ini PT.ASL membuat RTH publik 20 % dan RTH privat 10 %. Karena apabila kewajiban yang diamanatkan oleh undang undang di abaikan oleh pihak grand mall, maka siap siaplah bertemu dengan sanksi nantinya.” pungkas Anies Putra. hamzan