JAKARTA, HR – Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkesan ceroboh dalam mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Pasalnya, terdakwa Iwan Cendekia Liman yang disidangkan kasus penggelapan kendaraan Ferarri, tiba-tiba muncul dalam berkas perkara memori kasasi jaksa penuntut umum (JPU) masalah Narkoba, dengan nomor perkara yang berbeda.
“Saya tidak pernah ada tersangkut dengan Narkoba, dan itu nomor perkara orang lain, bukan nomor perkara saya. Jaksanya ceroboh,” jelas Iwan Liman kepada media dalam press release yang dikirim dari Rutan Salemba, Selasa (8/5/2018) kemarin.
Tertulis dalam perkara permohonan kasasi itu oleh Jaksa, kata-kata “dengan amar putusan Pengadilan Tinggi DKI, Jakarta No: 258/PID.SUS/2017/PT.DKI tanggal 1 November 2017”. Setelah di cek di website Pengadilan Tinggi DKI, bahwa nomor perkara tersebut adalah atas nama terdakwa I: Victor, terdakwa II: Iing Erwan Supangkat alias Iwan Belo, kasus Narkotika dan Psikotropika.
Sementara, nomor perkara terdakwa Iwan Cendekia Liman tingkat pertama Pengadilan Negeri Jakarta Barat No: 1267/Pid.B/2017/PN.Jkt.Brt dan pada nomor perkara tingkat Pengadilan Tinggi DKI No: 331/PID/2017/PT.DKI.
Bahkan, dalam point berikut, jaksa lagi lagi membuat, “majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI telah mengabaikan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2011tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.”
Padahal, Iwan Liman didakwa dalam kasus penggelapan (372 KUHP) yang tidak ada hubungannya dengan Narkotika. “Jaksa bikin kasasi tidak cermat, berarti dia bikin dakwaan dan tuntutan bagimana?” tanya Iwan.
Sebelumnya juga, dalam proses hukum terdakwa Iwan Liman ini terkesan dipaksakan dari kepolisian sampai ke Pengadilan. Diduga kuat ada yang mengendalikan mafia peradilan, karena jelas-jelas ditemukan sejumlah kejanggalan.
Iwan Liman didakwa melakukan tindak pidana penggelapan pasal 372 KUHP atas kepemilikan sebuah mobil Ferrari 458 Speciale berdasarkan laporan Rezky Herbiyono. Dimana mobil tersebut dibeli dari pihak leasing PT Mitsui berdasarkan penawaran resmi dari pihak PT Mitsui Leasing Capital Indonesia, karena Rezky Herbiyono sebagai debitur telah gagal memenuhi kewajibannya untuk melunasi down payment mobil tersebut.
“Oleh karena itu sebagai pihak penerima fidusia, PT Mitsui menawarkan mobil tersebut kepada saya dengan status unit tarikan,” tambah Iwan.
Setelah melakukan pelunasan sebesar Rp 10,2 miliar terhadap cicilan mobil tersebut, dan telah mendapatkan BPKB dan STNK mobil, Rezky Herbiyono kemudian melaporkan Iwan ke polisi atas tuduhan penggelapan. “Posisi saya sebenarnya adalah penerima pengalihan hak fidusia dari PT Mitsui sebagai penerima fidusia,” jelasnya.
Sebutnya lagi, kejanggalan lainnya terjadi pada saat PN Jakbar tidak memberikan saya kesempatan mengajukan pembelaan (pleidoi) seperti lazimnya proses dalam peradilan pidana yaitu pada persidangan setelah pembacaan tuntutan JPU. “Saya malah dipaksa mengajukan pembelaan di hari yang sama yaitu tanggal 16 Oktober 2017,” tegas Iwan.
Sehari itu, jelas Iwan, dilakukan pembacaan tuntutan, pleidoi (pembelaan) dan vonis dari Hakim. Hal tersebut tidak memcerminkan persidangan yang adil karena pembacaan tuntutan, pembelaan serta putusan, semua dilakukan satu hari yaitu 16 Oktober 2017. Iwan Liman divonis tiga tahun penjara.
Di tingkat banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, juga divonis selama 3 (tiga) tahun penjara. Saat ini menunggu putusan kasasi dari MA. Keseluruhan proses tersebut juga mengindikasikan bahwa praktek mafia peradilan masih terjadi di lembaga peradilan di Indonesia. jt